Friday, August 17, 2012

Perahu Kertas

Ini bukan tentang resensi novel atau film yang baru saja rilis.
Ini tentang......
Memori.




Sekitar sebulan-dua bulan lalu Perahu Kertas seolah menjadi topik yang banyak dibahas di mana-mana.

Setidaknya, di dunia maya tempat saya cukup banyak menghabiskan waktu.
Twitter, facebook, forum-forum dan milis kepenulisan yang saya "ikuti"...
Lalu berita tentang diangkatnya novel ini ke layar lebar.
Judulnya tidak terdengar asing.
Lagipula ini Dee. Salah satu penulis yang saya suka karya-karyanya.
Lalu Maudy Ayunda yang menjadi tokoh utama.
Sosok yang juga saya suka.

Satu-dua bulan lalu itu...

Yang ada di benak saya hanyalah: "Saya ingin menonton film ini."
Sekilas ingat, saya sudah pernah membaca novelnya.

Sekali lagi, ini Dee. (Seharusnya) saya (memang) sudah membaca novelnya.
Berulang kali saya menonton trailer (film)nya.
Ini tidak asing. Tapi saya mulai bertanya: Apa benar saya sudah membaca novelnya (sampai habis)?

Dan malam ini... baru malam ini...

Jemari saya tergerak untuk membuka file-file e-book dalam notebook saya.
(Saya memang tidak punya novel Dee versi cetak. Payah yaa..??:p)

Dee --> Perahu Kertas --> Open.
Halaman satu... halaman dua... halaman tiga...
Tidak. Ini tidak asing. Saya pernah membacanya.
Tapi, memasuki halaman-halaman selanjutnya...

Saya memang pernah membacanya. Beberapa tahun lalu.
Tapi tak pernah tuntas.
Dan akhirnya saya ingat kenapa.

Ada Keenan di sana yang selalu mengingatkan saya pada sosok yang lain.
Ada lukis.
Ada Amsterdam.
Ada mimpi menjadi penulis.
Ada "kecil".
Ada memori itu.

Satu-dua bulan lalu saya sangat ingin menonton filmnya...

Beberapa waktu lalu saya begitu bersemangat (kembali) "melahap" novelnya...
Tapi malam ini, saya terhenti di halaman 124.
Menyerah pada "emosi berbeda" yang menyeruak sejak halaman pertama dan seketika tertumpah dalam riak di ujung mata.
Merasa sangsi untuk meneruskan ke halaman selanjutnya.
Dan mendadak ragu untuk menonton filmnya.

Entah esok atau lusa, saya pasti akan melahap habis novel ini.

Pun menonton filmnya.
Tapi tidak sekarang.
Perlu waktu untuk menata hati.
Perlu waktu untuk menjadikannya hanya sekedar memori,
yang kelak hanya akan membuat saya tersenyum ketika mengingatnya.


Ternyata,

Melepaskan mimpi tak berarti mampu bersahabat dengan memori...

No comments:

Post a Comment